PENANGGULANGAN BENCANA PADA FASE AKUT

Pengalaman di Aceh dan Bantul


Pendahuluan

Kejadian dan usaha penanggulangan bencana mengikuti suatu siklus yang dimulai dari fase mitigasi – kesiagaan – kejadian – pananggulangan akut – pemulihan – rekonstruksi – pengembangan. Yang dimaksud dengan fase akut adalah fase kesiagaan (preparedness), fase kejadian (impact) dan penanggulangan akut (acute respon). Apa yang dilakukan pada penanggulangan akut adalah hal-hal yang sudah dipersiapkan pada fase kesiagaan dan sudah direncanakan dan dimulai pada fase mitigasi. Sebagai contoh adalah respon yang dilakukan oleh tim medis bencana. Pembentukan tim dan mengajarkan tindakan teknis medis yang akan dilakukan anggota tim merupakan mitigasi non struktural. Bila ada ancaman terjadi bencana maka tim ini segera disiagakan sehingga segera setelah bencana terjadi tim dapat beroperasi seperti yang telah direncanakan. Pada kejadian bencana di Aceh khususnya di Meulaboh dan di Bantul, banyak hal yang dapat dipelajari dari usaha penanggulangan yang dilakukan, khususnya pada fase akut.


Fase Mitigasi

Yang dimaksud dengan tindakan mitigasi adalah usaha-usaha yang dilakukan untuk mereduksi atau mengurangi dampak bencana terhadap kehidupan manusia dan lingkungannya. Mitigasi dapat berbentuk mitigasi struktural dan non struktural. Di Meulaboh, tindakan mitigasi sangat minimal. Mungkin yang dapat disebut tindakan mitigasi non struktural adalah aktifitas di RS dan Puskesmas dalam pelayanan gawat darurat yang bertujuan menurunkan angka kematian dan kecacatan. Tindakan mitigasi lainnya tidak jelas. Di DIY walaupun secara terbatas, tindakan mitigasi sudah berlangsung secara berkesinambungan sebagai hasil proses lesson learned dari bencana letusan Merapi pd th 1994. Tindakan tersebut meliputi :

  • Pembentukan Pusat Bantuan Siaga Kesehatan (Pusbankes) – 118 yang beranggotakan tim Ambulan Gawat Darurat ( AGD ) dari seluruh RS di DIY organisasi kesehatan lainnya seperti PMI dan unit kesehatan mahasiswa.
  • Pelatihan ketrampilan Penanggulangan Penderita Gawat Darurat untuk dokter, paramedis maupun awam yang diselenggarakan 2 – 4 kali setiap tahun.
  • Gladi lapang 2 kali setiap tahun.
  • Pembinaan Unit Gawat Darurat RS melalui standarisasi

Kelemahan dari proses mitigasi yang berjalan di DIY adalah bahwa mitigasi fungsional ini semuanya terpusat pada masalah teknis medis dan hanya sedikit sekali muatan mengenai manajemen bencana yang komperhensif, khususnya dalam hal menyiapkan fasilitas kesehatan menghadapi skenario terburuk yang bisa terjadi. Adalah fakta bahwa tidak ada satupun organisasi maupun pribadi yang pernah berfikir bahwa gempa sebesar di Bantul akan bisa terjadi. Lesson learned: masalah manajemen sama pentingnya dengan masalah teknis medis.


Fase siaga

Karena situasi keamanan saat itu, untuk kasus gawat darurat sehari-hari di Meulaboh boleh dikatakan sudah selalu dalam fase siaga. Tetapi kesiagaan menghadapi bencana alam jelas tidak pernah terfikirkan. Demikian pula yang terjadi di DIY. Walaupun saat itu semua aparat kesehatan sudah dalam keadaan siaga menghadapi ancaman letusan Merapi, tetapi situasi yang dihadapi ternyata jauh lebih buruk. Disini seakan-akan kesiagaan yang sudah dilakukan hampir tidak ada artinya karena apa yang terjadi berbeda sangat jauh dari skenario yang dirancang. Tetapi bagaimanapun juga kesiagaan tersebut paling tidak sudah sangat membantu dalam hal kepedulian dan persiapan SDM. Pelajaran yang bias diambil disini adalah bahwa organisasi penanggulangan bencana harus menyiapkan skenario terburuk untuk semua jenis bencana yang mungkin terjadi didaerah tersebut.


Respon sektor kesehatan

Organisasi atau unit kesehatan yang berpartisipasi melakukan respon pada fase akut adalah jauh lebih banyak dari provider lokal yang selama ini melakukan mitigasi dan persiapan siaga ( preparedness ). Di Meulaboh segera setelah bencana semua provider lokal mengalami kolap, baik kolap fungsi saja maupun kolap fungsi dan struktur. Beberapa saat setelah bencana RS CND memang masih mampu melakukan pelayanan darurat. Tetapi karena keterbatasan fasilitas dan logistik, aktifitas ini berhenti pada hari ke-2 sementara tim bantuan pertama tiba pada hari ke-5 pasca bencana. Pada saat tersebut, problem kesehatan akut sebenarnya tidak begitu banyak dikarenakan karena memang secara keseluruhan jumlah korban hidup tidak banyak dan korban dengan luka berat umumnya sudah tidak bisa bertahan. Oleh karena itu tim medis bantuan dalam jumlah banyak yang datang sesudah minggu pertama sebenarnya tidak terlalu efektif. Yang lebih diperlukan untuk Meulaboh saat itu adalah bantuan untuk penanggulangan masalah kesehatan kronis termasuk surveillance, dan bantuan untuk pemulihan dan rekonstruksi. Untuk bantuan jangka panjang, FK UGM dan RS Sardjito dengan bantuan dana dari World Vission memutuskan untuk membantu dalam sektor Capacity Building melalui proyek Aceh Supporting Unit. Di DIY, segera setelah bencana semua provider lokal terpaku pada RS ataupun Puskesmas masing-masing sehingga pertolongan korban di lapangan dilakukan oleh masyarakat setempat. Tim bantuan medis yang kemudian datang banyak yang tidak terkoordinir dengan baik sehingga usaha penanggulangan bencana ini sebagian saling tumpang tindih. Dalamhal ini, tim bantuan seharusnya bersifat membantu (supporting) peran dan fungsi provider setempat, bukan menggantikannya (replacing). Disini peran Satkorlak dan Satlak sebagai pengendali, dalam hal ini diperankan oleh Dinas Kesehatan Tk dan Tk II menjadi sangat penting. Kenyataan dilapangan menunjukkan bahwa karena berbagai sebab, maka fungsi sebagai pengendali ini kurang optimal.


Beberapa kejadian yang dapat dicatat sebagai contoh adalah :

  • berdirinya beberapa pos kesehatan di satu lokasi
  • tim bantuan dan provider setempat melakukan aktifitas yang sama pada lokasi yang berdekatan
  • rumah sakit lapangan yang beroperasi pada waktu, tempat, dan pola yang tidak tepat.
  • komunikasi dan kolaborasi antar tim yang minimal


Pelajaran yang dapat ditarik dari pelaksanaan respon pada fase akut ini adalah :

  • Pada keadaan yang serba kacau dan waktu yang terbatas untuk pengambilan keputusan, maka leadership dan koordinasi menjadi kata kunci untuk menjalankan crisis management.
  • Dalam penanggulangan korban bencana skala besar dimana kemampuan provider setempat terlampaui, maka selalu diperlukan bantuan eksternal.
  • Walaupun keberadaan bantuan luar diperlukan, tetapi provider local mempunyai peran yang sangat vital. Pengalaman terdahulu menunjukkan bahwa sesaat setelah kejadian sebagian besar korban (bisa sampai 90%) sudah ditangani oleh provider lokal pada saat tim bantuan datang.
  • Oleh karena itu usaha mengembangkan kesiagaan harus ditujukan untuk memperkuat provider lokal sehingga dapat tercapai hasil “Best Outcome Without Assistance (BOWA)“.

Penutup

Bencana bisa terjadi setiap saat, dan beberapa diantaranya tidak bias terdeteksi dengan tepat secara dini. Tujuan akhir dari usaha penanggulangan korban bencana pada fase akut adalah menurunkan mortalitas dan morbiditas. Usaha ini dimulai dari fase mitigasi, disiapkan pada fase siaga, dan dilakukan pada fase akut. Mengingat bencana umumnya terjadi dalam rentang waktu yang cukup lama, maka pada masa tenag perlu dilakukan aktifitas yang berkesinambungan sehingga pemerintah dan masyarakat selalu dalam keadaan siap bila terjadi bencana.


Tidak ada komentar: